Tuesday, August 27, 2019

Pendapat Saya Tentang Pemindahan Ibu Kota Republik Indonesia

Pada tulisan ini, saya akan memakai istilah 'DKI baru' atau Daerah Khusus Ibukota yang baru. Mengingat DKI Jakarta sendiri berwujud Provinsi yang terdiri dari beberapa kota. Walaupun kita sering menganggap DKI Jakarta sebagai kota, namun sebenarnya DKI Jakarta berada pada tingkat provinsi. Wajar saja dianggap kota atau urban, karena jika ditarik lurus sekitar 5 hingga 10 kilometer dari Monas, hampir ke segala arah sudah diisi oleh bangunan.

Isu yang paling pertama hinggap di kepala saya ketika mendengar rencana pemindahan ibu kota adalah, apakah akan ada keberagaman budaya di DKI baru? Kita tentu paham kalau DKI Jakarta sudah seperti mini Indonesia yang sangat beragam. Menurut saya, tidak perlu keberagaman yang dibuat-buat, aparatur sipil negara saja yang ada di pemerintahan pusat saja mungkin sudah berasal dari berbagai penjuru Indonesia, dan mereka serta ASN baru penerus mereka akan dipindahkan ke DKI baru. Dalam hal ini kalimat 'bersedia ditempatkan dimana pun di Indonesia' diuji secara massal.

Lalu, untuk apa sebuah negara merancang ibukotanya sendiri? Kita tahu bahwa pada negara-negara di dunia ini, lokasi ibu kota ada yang diwariskan dari kerajaan/kolonial/negara sebelumnya, dan ada juga yang dipilih serta dirancang sendiri oleh pemerintah dan warga negaranya. Pada masa kolonial Belanda, yang kini disebut Jakarta dulunya ialah Batavia. Batavia dipilih oleh Belanda, mungkin dalam hal ini VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), jauh sebelum Belanda menguasai dan menduduki daerah-daerah di Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan. Fokus mereka masih Selat Malaka. VOC juga ada di daerah Johor, pantai sisi barat Pulau Kalimantan, dan daratan Malaka pada masa itu. Namun posisi kunci Batavia sebagai pusat VOC tetap dipertahankan agar tidak terlalu dekat dengan Inggris di semenanjung Malaya. Apalagi jumlah populasi di Pulau Jawa sudah lebih dari cukup untuk mengusahakan peningkatan produktivitas lahan, ladang, dan sawah, baik dengan cara membuka lahan baru ataupun dengan ilmu-ilmu botani-agrikultur dari orang Eropa. Maka Belanda pun 'betah' mempertahankan Batavia menjadi pusatnya di Hindia Belanda.

Selain Batavia, Belanda juga besar di kota Surabaya yang pada masa itu sudah banyak penduduk dan padat. Selanjutnya, Surabaya menjadi portal antara Pulau Jawa dan daerah timur Hindia Belanda. Terdengar aneh memang, mengingat hasil bumi dari timur Hinda Belanda seharusnya langsung dikirim ke Eropa. Namun, melalui Surabaya, Pulau Jawa dan daerah timur Hindia Belanda sudah berinteraksi, dan mungkin saling berdagang, di bawah kolonialisme Belanda.

Saya bahas juga mengenai Surabaya agar kita mendapat gambaran bahwa DKI baru mungkin juga akan ditugasi hal-hal yang diemban Surabaya dalam kaitannya dengan Indonesia bagian Timur. Hal ini sejalan alasan dengan dipilihnya Kaltim yaitu karena secara geografi berada di tengah-tengah Indonesia dan lebih dekat dengan Indonesia bagian Timur daripada Jakarta. Terlebih lagi, Kalimantan Timur itu persis 'berhadap-hadapan' dengan Pulau Sulawesi. Namun, 'jembatan jalan tol' dari Pulau Sumatera dan Pulau Papua harus dibangun agar segala urusan rapat ke pemerintahan pusat di DKI baru dapat berjalan dan diselesaikan dengan lancar. Hal ini demi tujuan menghilangkan kesenjangan produktivitas ekonomis antara Pulau Jawa dan Luar Jawa, atau yang sering disebut 'Indonesia-sentris'.

Menurut saya, pembangunan ambisius Presiden saat ini sudah 'tinggal finishing' 30-40 persen lagi dari rencana awal tahun 2014. Presiden juga memasang gestur akan 'menginjak rem' percepatan infrastruktur transportasi. Sebagai gantinya, pembangunan infrastruktur akan difokuskan untuk membangun DKI baru. Berbagai mega proyek infrastruktur akan ada di lahan DKI baru. Investasi, alat konstruksi, dan para pekerja konstruksi mungkin akan diboyong ke Kalimantan Timur. Inilah 'peluru terakhir' sebagai warisan dari era pembangunan infrastruktur Presiden saat ini. Kita semua tentu berharap semoga proyek ini tidak dililit masalah dan DKI baru rampung dalam tempo yang tidak terlalu lama.

Mari lanjut ke persoalan daya tampung atau daya daya dukung lingkungan kepada mahluk hidup. Kita bicara soal beban 'biaya' yang ditanggung oleh alam. Bukan hanya manusia yang mengeluarkan biaya berupa uang membeli makanan, minuman dan rumah untuk melanjutkan hidupnya, alam juga harus mengeluarkan 'biaya' dalam bentuk air dan udara segar kepada manusia. Tingkat kepadatan penduduk bukan hanya tentang jumlah penduduk per satuan luas tanah, namun juga tentang jumlah penduduk per pasokan air bersih dan udara segar.

Beberapa pihak mungkin menganggap bahwa pemindahan ibu kota adalah upaya pemerintah pusat untuk kabur dan lepas tangan dari permasalahan Jakarta. Terlintas di pikiran saya, mungkin ada benarnya. Namun menurut saya bukan hal yang picik atau jahat. Karena ini adalah proyek jangka panjang, mungkin 20 tahun, jadi yang merasakan ruang kantor di DKI baru nanti belum tentu pejabat yang sekarang. Wajar saja bila negara sebesar Indonesia ingin memiliki ibu kota pemerintahan yang harus megah, serba besar, dan gedung antar gedung saling jauh-jauhan. Hal ini berbeda dengan pusat bisnis yang boleh saja saling berhimpitan, sempit, dan saling berdekatan. Daripada terjadi penggusuran demi penggusuran puluhan ribu warga terus-menerus, ada baiknya sebuah DKI baru dirancang dan dibangun (hampir) dari nol.

Membahas pembangunan infrastruktur fisik tentunya tidak lepas dari investasi besar-besaran Tiongkok di berbagai negara di dunia. Investai aspal dan semen ini memang sedang menjadi tren di ekonomi global. Aneh jika ada negara berkembang yang tidak bergerak ke arah sana. Namun untuk urusan DKI baru,  ego, martabat, derajat, dan harga diri Indonesia dipertaruhkan. Menurut saya, masyarakat luas, mulai dari fans Presiden Joko Widodo hingga orang yang pro investasi Tiongkok sekalipun akan mempertanyakan 'masak iya ibu kota Indonesia dibangun oleh Cina?', entah itu lewat perusahaan Tiongkok, uang, atau pekerja Tiongkok. Kita gak akan rela lah pokoknya.

Karena tidak sempurna, mega proyek ini cukuplah disebut ideal. Lokasi DKI baru ada di sisi timur Kalimantan yang bersebrangan dan berhadapan dengan Pulau Sulawesi yang merupakan titik tengah geografis Indonesia sesungguhnya. Dikatakan resiko bencana minimal juga bukan berarti tidak ada bencana.

Ke depannya, apakah DKI baru menjadi 'gerhana' bagi Balikpapan dan Samarinda? Akankah DKI baru mengkerdilkan dua kota tersebut? Coba anda bayangkan sebuah kota berisi jutaan orang ASN yang punya penghasilan, dan didatangi oleh ribuan orang ASN dari daerah setiap harinya. Sudah pastilah kota itu menarik bagi perusahaan restoran, hotel, bahkan mall. Daripada berinvestasi di Balikpapan dan Samarinda, tentu lebih baik berinvestasi di area DKI baru. Namun masih belum jelas batasan tentang hal ini, tentang seberapa bebas pihak swasta boleh membangun dan memiliki lahan bisnis di area DKI baru.

Hasil kajian pencarian lokasi DKI baru dalam beberapa tahun terakhir juga menghasilkan beberapa daerah yang mungkin bisa diibaratkan sebagai Juara-2, Juara-3, dan Peringkat-4. Saya yakin bahwa ada kemungkinan pemerintah  telah membidik lokasi-lokasi tersebut untuk dijadikan ladang investasi industri padat tekonologi tinggi maupun padat karya. Logikanya gak boleh sia-sia dong, udah buat penelitian, malahan yang dipakai cuman Juara-1 nya saja. Beberapa daerah yang telah dikaji tersebut seharusnya telah diketahui karakteristik, kelebihan, dan kekurangannya, sehingga bisa dicarikan tempat mana cocok untuk urusan apa. Daerah di pantai utara bagian perbatasan Provinsi Jabar dan Jateng, mungkin bisa semakin digalakkan ke arah industrialisasi. Begitu pula daerah Purwakarta sekitarnya, atau bagian selatan Pulau Sulawesi. Mereka seharusnya dikembangkan ke arah yang sesuai karakter masing-masing.
 Jakarta dalam 20 tahun ke depan bisa jadi dikembangkan menjadi kota pusat bisnis, keuangan, perdagangan, dan jasa. Saya memprediksi bahwa Jabodetabekpunjur akan menjadi sebuah Kawasan Ekonomi Ekslusif (KEK) yang memiliki regulasi berbeda dari daerah lain di Indonesia. Misalnya jika pajak  di tempat lain adalah 20%, maka pajak di Jakarta adalah 5% saja. Sementara itu di DKI baru, pajak dinaikkan jadi 30%, sehingga tidak menarik bagi swasta. Hal ini tidaklah aneh, justru agar bisnis swasta tetap berpusat di Pulau Jawa. Di sisi lain, karena tidak dipilih sebagai DKI baru, bisnis swasta akan menjalar ke arah Pulau Sumatera. Seharusnya, provinsi-provinsi di Pulau Sumatera sudah mulai memperbanyak area KEK dan mulai bagi-bagi insentif berupa 'liburan pajak' bagi investor yang berani memulai bisnis di lahan yang baru tersebut.

Saya berasumsi bahwa pemindahan ibu kota bukanlah untuk kebaikan Jakarta, namun demi kebaikan Indonesia. Urban regeneration untuk Jakarta adalah perihal urusan yang lain, tidak satu 'kapal' dengan pembangunan DKI baru. Jakarta nantinya harus mengambil kesempatan untuk memperbaiki serta meningkatkan pasokan air dan memperluas ruang terbuka hijau, mumpung jutaan aparatur sipil negara sedang berpindah ke Kalimantan. Karena selain opsi djual atau diratakan, bisa saja rumah sewa, kos, ataupun tanah yang dimiliki oleh ASN di Jakarta akan ditinggalkan namun tidak dijual melainkan disewakan kepada penduduk baru Jakarta yang akan datang di kemudian hari. Dari sini dapat terlihat bahwa memnindahkan ibu kota pemerintahan bisa saja lebih mudah dan murah daripada memindahkan pusat bisnis.

Ibu kota pemerintahan dan pusat bisnis nasional butuh stabilitas. Stabilitas bukan hanya tentang keamanan dari konflik bersenjata. Hal ini menjadi pembeda antara kota pusat pemerintahan dan kota pusat bisnis. Pusat pemerintahan rawan dengan demontrasi. Bukan hanya yang berjumlah pelaku unjuk  rasa ratusan ribu orang, namun yang jumlahnya 2 orang pun kalau memakai aksi drama panggung yang menutup jalan umum, juga dapat membuat penduduk kota pusing. Boleh dan sah-sah saja bila pusat pemerintahan didemo setiap hari, namun jangan pusat bisnisnya.

Stabilitas suatu kota juga dipengaruhi oleh faktor terkait rawan bencana. Kota yang sering kena sembur abu vulkanik seharusnya tidak lebih dipilih daripada kota yang tidak pernah kena abu vulkanik. Begitu pula dengan kebarakan hutan, longsor, gempa, dll.

Saat tulisan ini saya buat, ada 2 hal yang membuat saya  penasaran. Pertama, apakah letak geografis DKI baru akan lebih jauh dari garis pantai dan lebih tinggi dari permukaan laut dibandingkan dengan DKI Jakarta? Misalnya Istana Negara yang baru akan berada 20 kilometer dari laut dan 50 meter di atas permukaan laut. Dibandingkan Istana Merdeka, di Jakarta, yang berada sekitar 6 kilometer dari laut dan sekitar 7 meter di atas permukaan laut. Kondisi geografis Kecamatan Samboja dan Kecamatan Sepaku memadai untuk hal itu. Hal ini terutama menjadi perlu diperhatikan atas dasar pertahanan dan keamanan dari konflik bersenjata dan infiltrasi/ penyusupan dari laut.

Hal kedua yang membuat saya penasaran adalah bagimana respon penduduk di Sabah dan Sarawak? Entah apa yang nanti mereka rasakan ketika mereka berada satu pulau dengan pusat pemerintahan Republik Indonesia yang berisi orang-orang paling berkuasa, paling 'kuat', dan paling berpengaruh dalam tanggung jawab pengambilan keputusan yang melibatkan dan  menentukan arah kehidupan 290 juta manusia bangsa Indonesia yang tinggal di 17.000 pulau dari Sabang sampai Merauke. Pulau Kalimantan yang sudah ditempati oleh 3 negara, akan segera ditempati juga oleh 2 ibu kota pemerintahan negara. Hal yang tidak pernah dirasakan oleh Jakarta dan Pulau Jawa dalam 50 tahun terakhir. 

Sunday, August 25, 2019

Negara Maju Mengimpor Barang Jadi Dari Negara Berkembang

Karena USA dan China sedang tidak saling ekspor-impor, maka mereka mencari dari negara selain China dan USA untuk dijadikan teman berdagang. China dan USA pun memilih Indonesia. Lalu Indonesia dipilih sebagai penyedia barang dan jasa bagi China dan USA. Namun, apakah sesederhana itu?

..


Untuk dapat bersaing, maka suatu unit industri harus memiliki atau memiliki kuasa atas segala proses dari hulu ke hilir. Misalnya, jika suatu perusahaan memiliki kuasa lebih dalam tawar-menawar harga bahan baku, maka dapat dipastikan akan lebih unggul dibandingkan perusahaan yang tidak memiliki kuasa pengendalian harga bahan baku. Begitu juga untuk segala urusan distribusi produk. Perusahaan yang memiliki armada ekspedisi sendiri atau memiliki kuasa lebih dalam deregulasi tarif, akan lebih unggul bersaing daripada yang tidak memiliki kuasa atas urusan distribusi produk.

Hal tersebut mungkin terlihat 'tricky' atau licik. Namun,asalkan sesuai dengan aturan main, sah-sah saja kan. Hal tersebut biasanya dilakukan dengan cara lobby antar perusahaan. Bahkan hingga sekarang masih terdapat beberapa perusahaan yang memiliki induk perusahaan yang sama, yang melakukan praktik memprioritaskan perusahaan kerabatnya. Contoh sederhana misalnya, operator bus penumpang yang satu induk dengan operator kapal ferry, bisa saja mendapat harga lebih murah dan diutamakan masuk penyeberangan lebih cepat. Hasilnya, operator bus tersebut dapat lebih unggul bersaing dengan operator lain yang harus membayar penyeberangan lebih mahal dan diberangkatkan belakangan. Contoh sederhana ini juga dapat muncul dalam perdagangan lintas negara.

Selain memperkuat hubungan baik antar perusahaan, belanja modal berupa mesin produksi terbaru yang paling efisien dan paling produktif juga harus dilakukan. Meningkatkan volume produksi biasanya dilakukan untuk merasakan dampak economy of scale. Artinya, biaya untuk membeli mesin baru dan bangunan baru dapat dibalikkan dengan menjual produk sebanyak-banyaknya. Terlebih jika dalam akuisisi bahan baku terdapat bonus pembelian atau 'beli banyak harga kurang' ala ala toko grosir. 

Dari segi penelitian dan pengembangan produk, seharusnya perusahaan menerapkan fitur lebih canggih daripada perusahaan saingan. Jika produk sudah superior, namun harga tetap sama, maka pembeli akan memilih produk tersebut. Di sisi lain, untuk menjadi superior dari segi fitur, bisa jadi perusahaan rugi di awal karena harus investasi penelitian teknologi baru. Sudah ada banyak kisah perusahaan yang gulung tikar karena hasil riset tidak cocok dengan kebutuhan pasar.

Penelitian dan pengembangan produk dapat juga dilakukan ke arah selain fitur superior. Misalnya, jika suatu perusahaan mengincar pembeli dari negara A, maka perusahaan tersebut dapat membeli bahan baku yang berasal dari negara A dan dipakai oleh perusahaan serupa di negara A. Hal ini mungkin dapat membuat pemerintah di negara A sedikit melunakkan deregulasi, karena komoditas mereka diekspor. Itu jika beruntung, jika tidak, maka akan muncul 'lelang' antara perusahaan lokal dan perusahaan asing. Jika perusahaan asing yang menang, maka perusahaan lokal di negara A akan kesulitan dalam mencari bahan baku yang tepat. Perusahaan asing mendapat bahan baku yang sudah tepat dan cocok digunakan oleh pembeli dari pasar negara A. Untuk itu, perusahaan yang tidak berasal dari negara A, harus melakukan penelitian dan pengembangan produk berbahan baku baru tersebut agar lebih unggul daripada perusahaan di negara A.

Dalam hal economy of scale dengan basis industri padat karya, Indonesia masih perlu memenangkan persaingan dengan negara-negara ASEAN dan Asia Selatan. Karena mereka juga memiliki puluhan jutaan tenaga kerja usia produktif. Salah satu cara agar lebih diutamakan adalah dengan membeli (impor) bahan baku dari negara tujuan ekspor. Hal ini mungkin akan jadi tren yang lebih 'harmonis' dibandingkan dengan hanya mencari produsen dengan harga paling murah. Hal ini juga dapat dilakukan negara berkembang kepada negara maju. Misalnya di negara maju mereka sibuk membuat komputer, mobil, dan pesawat, padahal teknologi perkebunan kapas mereka sangat produktif karena memakai teknologi mutakhir. Maka negara berkembang dapat mengimpor kapas dari negara maju untuk dijadikan produk sandang.

Saturday, August 24, 2019

Hubungan SDM Unggul Dan Larangan Ekspor

.. ...jika nanti ada tajuk "Indonesia mengekspor barang jadi", maka sebenarnya adalah "sebuah perusahaan asing yang membangun pabrik di Indonesia dan memperkerjakan orang Indonesia, mengekspor barang jadi ke luar Indonesia" ..


..


Buat yg sering nyinyir kalau Indonesia ekspor ini itu hanya dalam keadaan 'mentah', namun impor banyak hal dalam bentuk produk jadi, sebentar lagi kemauan anda mungkin akan segera dikabulkan.

Beberapa minggu terakhir, ramai berita bahwa pemerintahan akan larang ekspor berbagai komoditas, mulai dari nikel hingga sawit.

Walaupun terkesan protektif, posesif, dan  isolasi diri, di satu sisi, hal ini sejalan dengan semangat Indonesia menjadi 'negara maju' dengan cara meningkatkan keunggulan dan daya saing SDM.

Mari kita simak.

Memperketat ekspor bahan mentah, artinya, RI akan merelakan uang ekspor bahan mentah demi uang ekspor barang jadi produk dalam negeri oleh anak bangsa.

Terdengar seperti hal yang baik.

Namun belum tentu volume produksi industri dalam negeri sudah langsung tinggi.

Alhasil pemerintah tetap harus mengundang investasi teknologi industri dari luar negeri untuk bangun pabrik mereka di Indonesia sambil menunggu penyerapan dan alih teknologi.

Salah satunya, mungkin, adalah dengan libur pajak beberapa tahun ditambah insentif ini itu.

Artinya, jika nanti ada tajuk "Indonesia mengekspor barang jadi", maka sebenarnya adalah "sebuah perusahaan asing yang membangun pabrik di wilayah Indonesia dan memperkerjakan orang Indonesia, lalu mengekspor barang jadi ke luar wilayah Indonesia".

Hal ini sudah terjadi di bidang otomotif oleh beberapa perusahaan asal Jepang.

Di sisi lain, jika larangan ekspor bahan mentah dilakukan terlalu ketat, sedangkan industri masih belum matang mumpuni, padahal investasi asing sedang 'libur pajak', alhasil defisit perdagangan akan makin minus membengkak.

Bukan hanya Indonesia tidak mau lagi melakukan impor, namun Indonesia mungkin tidak bisa (mampu) impor berbagai kebutuhan dalam negeri kecuali dengan hutang.

Hal ini akan mencekik namun justru harus menjadi motivasi bagi sektor penelitian dan pengembangan teknologi di Indonesia, dan dibarengi dengan bantuan bagi wiraswasta anak bangsa.

Katakanlah pada tahun 2020 sektor infrastruktur umum sudah tinggal finishing 30-40 persen terakhir dari rencana tahun 2014, maka pembangunan tidak ke arah sana lagi.

Seolah semua pintu tertutup, namun hanya ada dua pintu yang terbuka, yaitu sektor pendidikan berupa penelitian dan pengembangan teknologi dan sektor perbankan berupa pemberian pinjaman bagi modal bisnis.

Maka benar adanya bahwa pemerintah Indonesia harus 'all-in' totalitas dalam hal pendidikan agar SDM semakin unggul dan bersaing. Anak-anak muda dengan keahlian dan keterampilan tersebut yang akan mengisi dan mengoperasikan pabrik-pabrik di wilayah Indonesia. Sehingga volume produksi meningkat dan menjadikan ekspor barang jadi sebagai 60-70 persen penyumbang dari pendapatan dan produktivitas Indonesia. Maka pada titik itulah, Indonesia dikatakan sebagai 'negara industri' alias 'negara maju'.

Katanya Akan Ada Universitas Negeri Di Tapanuli

Saya sempat bertanya : " Fakultas/Program Studi/Jurusan apa yang seharusnya akan ada Universitas Negeri Tapanuli Raya ?"

Lalu ada teman saya yang menjawab : "Seni, Sastra, dan Humaniora Batak" 

Mari kita bahas! 

Investasi dalam bentuk membangun infrastruktur, fasilitas serta sarana dan pra-sarana pendidikan bukanlah suatu langkah yang akan 'berbuah' dalam waktu singkat. Sehingga di samping biaya yang mahal, jarang sekali para orang kaya atau pemimpin pemerintahan yang mau ngotot mengupayakannya. 

Ketika orang kaya membangun fasilitas kesehatan umum dan pemerintah membangun infrastruktur jalan, maka mereka akan dengan dengan gampang menjawab segala hal nyinyir yang meragukan mereka. Misalnya ketika seorang konglomerat ditanya sudah berbuat apa kepada masyarakat, atau ketika kepala daerah ditanya sudah menggunakan pajak dari masyarakat untuk melakukan apa saja dalam 5 tahun terakhir, mereka dapat menjawab bahwa klinik dan Rumah Sakit mereka sudah menolong banyak nyawa, atau jalan tol sepanjang 100 kilometer sudah dibangun menggunkan 5.000 pekerja. Lagipula dampaknya dapat dirasakan langsung oleh konglomertat investor dan masyarakat pemberi pajak.

Selain dana dikucurkan untuk membangun gedung kampus, membayar dosen, dan segala riset penelitian, juga mungkin dibutuhkan waktu minimal, perkiraan yaitu: 
  • Pembangunan fisik kampus : tahun ke 0 - tahun ke 2 
  • Pencarian tenaga pengajar : tahun ke 0 - tahun ke 3
  • Pendidikan sarjana angkatan pertama :  tahun ke 1 - tahun ke 5
  • Semua sarja sudah bekerja : tahun ke 6 
  • Pendidikan master angkatan pertama : tahun ke 10 - tahun ke 12 
  • Pendidikan doktor angkatan pertama : tahun ke 15 - tahun ke 20
  • Asumsi alumni menjadi sebagai profesor pertama: tahun ke 20 
  • Pendidikan sarjana angkatan ke dua puluh :  tahun ke 20 - tahun ke 24
Entah harus menunggu hingga 25 tahun atau menunggu 6 tahun, rentang waktu tersebut lebih lama daripada 1 periode pemerintahan seorang kepala daerah  yaitu 5 tahun sebelum harus dipilih kembali. Bahkan jika terpilih kembali, maka belum tentu kampus tersebut sudah memiliki program studi master (S-2). Padahal sudah hampir pasti akan ditanyai, kapan kampus tersebut ada program studi S-2. Terlebih lagi bagi kampus di daerah rural, jika alumni angkatan pertama, kedua dan ketiga masih lebih doyan pergi ke kota karena ilmunya dibayar lebih tinggi, maka belum tentu pada tahun ke-10, mereka sudah kembali ke kampung atau sudah mebangun kampung secara masif dengan mengirim sejumlah jutaan Rupiah uang ke kampung. Sebelum asumsi jauh-jauh, perlu diperhatikan bahwa tahun ke-0 yang dimaksud ialah awal pembangunan kampus, bukan awal masa jabatan di pemerintahan. Jika awal pembangunan adalah pada tahun ke-2 si kepala daerah terpilih, maka silahkan tambahkan 2 tahun, sehingga menjadi: 

  • Pembangunan fisik kampus : tahun ke 2 - tahun ke 4 
  • Pencarian tenaga pengajar : tahun ke 2 - tahun ke 5
  • Pendidikan sarjana angkatan pertama :  tahun ke 3 - tahun ke 7
  • Semua sarja sudah bekerja : tahun ke 8
  • Pendidikan master angkatan pertama : tahun ke 12 - tahun ke 14
  • Pendidikan doktor angkatan pertama : tahun ke 17 - tahun ke 22
  • Asumsi alumni menjadi sebagai profesor pertama: tahun ke 22
  • Pendidikan sarjana angkatan ke dua puluh :  tahun ke 22 - tahun ke 26
Jika seorang kepala daerah mulai menjabat di tahun 2020 dan memulai membangun perguruan tinggi di tahun 2022, maka di periode keduanya di tahun 2028 barulah ada kemungkinan semua alumninya sudah diterima bekerja. Itupun kalau terpilih. Bahkan dia mungkin harus menanti hingga ke tahun 2034 untuk melihat wisuda pertama program studi S-2 dari kampus itu, jauh setelah akhir periode pertamanya. 

Hal yang ingin diperlihatkan di sini adalah, butuh komitmen yang sangat besar jika seorang kepala daerah ingin secara total memprioritaskan dan mengupayakan pembangunan perguruan tinggi baru yang dimulai dari titik nol. Terlebih lagi di daerah rural yang mungkin tingkat perekonomian dan produktifitasnya masih perlu ditingkatkan, akan dipertanyakan mengapa lebih memilih membangun kampus daripada subsidi pupuk dan membangun irigasi. Hasil pertanian bisa langsung dimakan, jika tidak dijual ke kota atau diekspor, sedangkan alumni yang baru muncul di tahun ke-7, belum tentu kembali membangun kampung.

Cukup sekian ilustrasi umum dan asumsi yang sok tau

Untuk rencana Tapanuli ingin memiliki perguruan tinggi, mungkin saja dilakukan beberapa terobosan agar lebih cepat, yaitu: 
  • Sebagian pembangunan menggunakan sponsor atau hibah dari berbagai perusahaan swasta yang berkaitan. Misalnya terkait pariwisata, dimintakan dari pelaku industri pariwisata, perhotelan, taman rekreasi. Jika terkait teknologi, dimintakan dari perusahaan teknologi, e-commerce, startup unicorn
  • Sebagian pembangunan menggunakan sumbangan dari orang Batak yang sudah kaya di kampung halaman atau di perantauan
  • Menggunakan fasilitas yang sudah ada, misalnya gedung milik pemerintahan yang tidak terpakai atau beberapa fasilitas dipinjam dari lembaga pemrintahan non-pendidikan atau pihak swasta
  • Program studi D-1 atau D-3 dapat dipilih karena waktu pendidikan lebih singkat daripa S-1 atau D-4. 
 Hal-hal tersebut adalah opsi agar awal masuknya alumni angkatan pertama ke duni kerja dapat terjadi dalam tempo singkat. Namun ada alasan mengapa terdapat poin 'asumsi alumni menjadi sebagai profesor pertama'. Profesor adalah 'puncak' bagi siapapun yang berkecimpung di dunia pendidikan perguruan tinggi. Dalam tempo beberapa puluh tahun, para pemimpin utama bagi setiap kampus seharusnya ialah rektor, dekan, dan kepala program studi yang bergelar profesor yang dulunya adalah alumni diploma atau sarjana dari kampus tersebut! 

Kembali ke jawaban teman saya yaitu kesenian khas Batak, sastra Batak, dan humaniora Batak seharusnya menjadi ilmu yang dipelajari, diperdalam, diteliti, dikembangkan oleh sebuah perguruan tinggi di Tapanuli. Hal ini juga seharusnya dilakukan di bawah kepemimpinan
rektor, dekan, dan kepala program studi yang bergelar profesor yang dulunya adalah alumni diploma atau sarjana dari kampus tersebut. Karena seharusnya mereka yang mengemban agenda tersebut.

Kesimpulannya, jika perguruan tinggi dibangun di Tapanuli untuk mendidik secara massal anak-anak muda agar menjadi pelaku pariwisata dan pekerja di sektor pariwisata, maka harusnya dilakukan segera agar tidak kehilangan momentum di saat pengembangan pariwisata di Danau Toba menjadi sorotan banyak pihak dan kepentingan. Namun untuk jangka panjang, harus dipikirkan dari awal tentang segelintir anak muda yang sudah ditarget dan dibimbing untuk kelak menjadi profesor yang akan memperdalam, meneliti, dan mengembangkan ilmu kesenian khas Batak, sastra Batak, dan humaniora Batak. 

Gaya Kepemimpinan Orang India Di Bidang Teknologi: Pelayanan Dari Atasan Ke Bawahan


Beberapa hari yang lalu berkunjung ke kampus. Ngobrol dengan teman-teman yang sudah alumni. Obrolan pun sampai kepada isu internet bahwa 50% pegawai NASA adalah orang India. Memang setelah dicari tahu, info tersebut keliru. Namun hoax atau guyon itu tidak timbul tanpa alasan. Karena di USA, kalau dicek daftar pejabat di perusahaan-perusahan top di bidang teknologi komputer, maka bukan hanya 1 atau dua orang saja yang dari namanya langsung ketahuan sebagai orang India. Misalnya, beberapa unit kerja di perusahaan Intel, AMD, dan NVIDIA dipimpin oleh yang punya nama khas India. Jadi bukan hanya jabatan sekelas CEO yang sering masuk berita itu saja, namun juga berakar ke unit-unit internal yang lebih kecil seperti divisi atau departemen. Daripada membahas skill IT mereka, saya sendiri lebih yakin bahwa kemampuan dan gaya memimpin mereka lah yang menjadikan beberapa orang-orang India sampai pada tahap direksi perusahaan.

Menurut saya, yang unik dari gaya kepemimpinan orang India adalah semacam konsep 'yang mengajar adalah yang memimpin' dan 'kalau mau jadi pemimpin ya harus mau jadi pengajar'. 'Istilah mengajar' dalam hal ini mungkin dapat disamakan dengan 'membimbing'. Hal ini menjauhkan dari dampak buruk sifat nge-boss yang dapat muncul akibat egoisme berlebihan. Karena meskipun bergerak cepat dengan langkah besar sekalipun, kalau tidak mau mengajari dan membimbing anggota yang lain, maka atasannya dia tidak akan menunjuknya sebagai pemimpin. Bahkan meskipun dia ditunjuk sebagai ketua/kepala/manajer, anggotanya tidak akan menganggapnya sebagai pemimpin jika dia tidak mau mengajari, dan hanya menyuruh-nyuruh.

Gaya kepemimpinan tersebut sangantlah rumit dan menyita waktu. Tentu saja sebagian besar waktu terpakai oleh micro-management. Padahal masih ada hal-hal besar yang bersifat eksternal yang harus dibenahi. Tentunya, bimbingan yang diberikan tadi seharusnya untuk membuat si anggota langsung paham dan mahir. Artinya, kemauan membimbing saja tidak cukup, jika tidak mampu dan tidak sempat membimbing, maka tetap saja tidak akan dianggap sebagai pemimpin.

Oleh karena itu, sebagai kompensasi agar ditoleransi, orang yang ingin menjadi pemimpin seharusnya menghargai, dan membuat suasana kekeluargaan secara 360 derajat (kepada bawahan, kepada yang sederajat, dan kepada atasan). Hal-hal seperti menanyakan kabar keluarga dari atasan, menjenguk rekan yang sakit, dan menghadiri pesta pernikahan dari anak bawahannya juga menjadi keharusan bagi yang ingin mempunyai kuasa kepemimpinan.

Dengan segala upaya di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pelayanan yang dilakukan adalah dari CEO ke karyawannya, atau dari kepala divisi ke anggotanya, atau dari kepala departemen ke bawahannya. Pemimpin ialah justru yang melayani lewat ajaran dan bimbingan kepada yang dipimpin. Gaya kepeimpinan ini akan jadi sulit ketika menjumpai orang yang sering 'kelewatan' batas moral, misalnya atasan malah disuruh-suruh. Si manajer juga tidak boleh alergi ketika harus mengajari orang yang 5 level struktur di bawahnya.

Dalam mempertahankan rasa kekeluargaan itu, interaksi sosial yang tinggi berujung pada keterbukaan antar pribadi. Seseorang akan merasa malu jika keterlibatannya tidak signifikan pada kelompok. Pada akhirnya, hal ini akan ikut mendorong kinerja tim.

Siapa yang layak bertahan menjadi pemimpin ialah yang mampu menjadi pengarah utama untuk strategi bisnis, harus mampu menjaga budaya harmonis dalam organisasi, harus mampu memberi panduan sebagai guru panutan bagi karyawan, dan harus mampu menjaga kepentingan pemilik dan investor. Lebih spesifik lagi, yang lebih cenderung untuk bertahan ialah justru yang dapat menunjukkan bahwa sebagai pemimpin lebih mengutamakan kesejahteraan dan keadaan harmonis internal organisasi daripada menjaga kepentingan pemilik dan perasaan para investor. Cukup membingungkan.

Intinya, para pemimpin berdarah India yang berkiprah di perusahaan-perusahaan USA sekarang telah lama sadar bahwa peningkatan kesadaran atas budaya kerja yang baik dan peningkatan kemampuan modal manusia adalah hal utama yang harus diperjuangkan bersama-sama. Jika internal sudah bagus, maka lebih banyak investor baru akan datang dengan dana lebih besar. Jika memang investor merasa tidak senang karena sang manajer lebih mementingkan kondisi bawahannya, maka silahkan si investor keluar. Tetap dingat bahwa jika memang peforma internal sudah bagus, maka lebih banyak investor baru akan datang dengan dana lebih besar.

Tetap saja, masih merupakan hal yang membingungkan.

Berharap Danau Toba Lolos UNESCO Global Geopark Network

Sebagai orang yang sudah pernah mengunjungi semua geosite di kawasan Danau Toba, dan menjadi saksi perubahannya dari keadaan 5 tahun lalu, jujur saya sangat berharap Geopark Nasional Kaldera Toba untuk 'naik pangkat' menjadi UNESCO Global Geopark Network. Biarlah beramai-ramai National Geographic, Discovery, Smithsonian, BBC, dan akademisi top dunia ikut menyoroti dan melindungi Geopark Kaldera Toba, bila perlu 24 jam tiap hari, 7 hari tiap minggu.

Apa pentingnya masuk UNESCO Global Geopark Network ?

UNESCO Global Geopark Network (UGGN) bisa jadi menyajikan apresiasi internasional bahkan global atas suatu geopark. Dari sudut pandang kepentingan pariwisata misalnya, masuk ke UGGN akan menyokong dari segi promosi, pemasaran, merek, pengiklanan, dsb. Bayangkan jika Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) juga akan ikut serta menyuarakan keindahan Danau Toba. Lebih lagi, PBB bisa menghimpun dan mengajak organisasi-organisasi internasional lainnya untuk ikut berkunjung ke Danau Toba dan menikmati keindahannya. Namun itu dari sudut pandang pariwisata. Bagimana dari sudut pandang kepentingan lainnya?

Dari sudut pandang kepentingan ilmu bumi, maka bisa jadi Danau Toba dilihat sebagai laboratotium sekaligus museum raksasa. Dianggap sebagai museum adalah karena memang ada banyak bukti sejarah (sejarah yang dimaksud di sini adalah sejarah bumi ribuan bahkan jutaan tahun lalu, bukan 5 tahun lalu) yang terpapar sebegitu 'telanjang'-nya di kawasan Danau Toba. Tidak perlu banyak menggali, sudah kelihatan. Dianggap sebagai laboratorium adalah karena jika rasa ingin tahu tentang sejarah bumi ingin dijawab dan dipenuhi, maka kawasan Danau Toba adalah tempat yang tepat. Mungkin kegiatan menggali untuk mendapatkan sampel batuan di kawasan Danau Toba dapat menghasilkan cerita-cerita ilmiah tentang hal-hal masa lampau yang pernah terjadi di bumi.

Oleh karena itu, maka untuk masuk ke UGGN, salah satu hal yang diperhatikan adalah koneksi dan relasi antara manusia dan buminya. Hubungan yang dimaksud bukanlah ketika penduduk setempat melakukan pemujaan kepada batu dan gunung di sekitarnya. Namun apakah dinding-dinding batuan tersebut dijaga dan dilestarikan oleh penduduk setempat? Jika penduduk atau pemerintahnya tidak peduli betapa pentingnya kadar keilmuan pada dinding batu tersebut dan hanya mengerukknya untuk dijual sekian ribu Rupiah per karung, maka sudah jelas bahwa batuan itu tidak penting! Lain halnya jika penduduk lokal melakukan upaya penelitian terhadap batuan tersebut. Terlebih jika batuan tersebut punya hubungan unik dengan flora dan fauna yang ada di sekitarnya. Anggaplah penduduk dan pemerintah setempat butuh dana jutaan US Dollar untuk merampungkan penelitian tersebut namun hanya punya segelintir dana riset, setelahnya jika sudah masuk UGGN, seharusnya PBB akan menghimpun dan mengajak organisasi-organisasi internasional lainnya untuk ikut menggelontorkan dana hibah riset dan mengirimkan para cendekiawan top dunia.

Sesuai judul tulisan ini, wajar jika dipertanyakan apakah penting kaldera Danau Toba lolos UGGN? Hal ini tentu kembali kepada kepentingan dan sudut pandang masing-masing. Oknum yang bergerak dan berkarya di bidang pendidikan dan penelitian wajar berharap bahwa masuknya kaldera Danau Toba ke UGGN akan menjadi kelanjutan yang lebih serius dan masif bagi masuk serta tersebarnya ilmu pendidikan tinggi tentang bumi dan bermukimnya ilmuwan-ilmuwan geologi tersohor dunia di kawasan Danau Toba. Bayangkan jika Danau Toba menjadi topik pembicaraan yang trending di antara para petinggi-petinggi negara-negara dunia, dan bukan hanya diomongkan, namun ditindaklanjuti dengan memberi dana riset membiayai peneliti lokal dan mengirimkan para ilmuwan top mereka. Tentu saja, objek penelitian mereka harus dijaga dan dilindungi ibarat objek di museum atau sama seperti ramuan di laboratorium.

Sekali lagi, jujur saya sangat ingin agar National Geographic, Discovery, Smithsonian, BBC, dan akademisi top dunia beramai-ramai ikut menyoroti dan melindungi Geopark Kaldera Toba, bila perlu 24 jam tiap hari, 7 hari tiap minggu.

Dompet Digital Apakah Aman ?

Beberapa hari ini, ketika nonton bioskop, dan menonton video di Youtube, mungkin anda beberapa kali melihat iklan tentang dompet digital. Isi iklan tersebut adalah tentang orang-orang yang kehilangan dompetnya, namun dompetnya kembali lagi secara tiba-tiba dan instan. Hal ini merepresentasikan konsep pembayaran digital yang bersifat non-tunai atau non-fisik yang memberikan kemudahan kepada si pemakai berupa kemampuan membayar walau tanpa uang tunai dan dompet fisik sekalipun. Karena hal ini cukup menarik, maka mari kita bahas hal ini.

Proteksi yang dihadirkan dalam menggunakan dompet digital adalah anda tidak perlu membawa uang tunai sehingga anda uang anda tidak akan dicuri oleh pencopet dompet. Itu secara sederhana. Namun dari sisi yang lebih rumit, tentunya kita tahu bahwa peretas a.k.a hacker juga menghuni dunia maya dan 'berperang' dengan perusahaan-perusahaan keamaan online. Di medan perang ini jugalah perusahaan-perusahaan penyedia layanan pembayaran digital bertempur dan membangun benteng proteksi yang paling maksimal bagi akun dan catatan uang simpanan para pengguna dompet digital.

Keamanan dan kemudahan sering kali bukanlah dua hal yang saling sayang. Jika ingin kemudahan, maka belum tentu aman. Jika ingin keamanan, maka belum tentu mudah. Contoh sederhananya ialah, seseorang yang pada layar HP memakai password berlapis dan beragam jenis, akan lebih sulit dibobol daripada yang tidak memiliki password layar HP sama sekali. Namun dari segi kemudahaan, maka yang tidak memakai password pada layar HP akan lebih mudah, cepat dan nyaman dalam membuka dan menutup layar HP.

Jika anda adalah pemakai kartu debit atau kartu kredit, maka ketika anda melakukan 'gesek' anda juga akan memasukkan pin sandi 6 angka pada saat transaksi. Dari sudut pandang pengembangan dompet digital, ada dua hal yang perlu dijadikan perhatian. Pertama, dompet digital harus lebih nyaman dipakai daripada kartu-kartu itu. Sebagai non-kartu, dompet digital harus menghadirkan kemudahan yang lebih maju, lebih modern, daripada gesek dan memasukkan pin 6 angka. Kedua, dompet digital harus menghadirkan keamanan yang lebih mumpuni daripada kartu-kartu tadi. Padahal kita tahu bahwa kartu-kertu ATM dengan indentitas nomor rekening juga sudah diberitakan beberapa kali dapat kena bobol. Dituntut untuk harus lebih aman dan harus lebih mudah, di saat yang bersamaan, perusahaan penyedia layanan pembayaran digital pasti pusing tujuh keliling.

Salah satu yang dilakukan adalah membangun  sistem informasi yang menyimpan berbagai data akun pribadi yang dicocokkan dengan data transaksi. Namun hal ini biasanya baru akan berguna setelah hal yang tidak diinginkan terjadi. Yaitu ketika melakukan tindakan penelusuran dan penjejakan transaksi mana yang benar dilakukan oleh sang pemilik sah dan mana yang dilakukan secara ilegal oleh si pencuri. Oleh karena itu, para pengguna seharusnya punya nomor telepon kedua dan email cadangan agar pengembalian akun dan normalisasi saldo dapat berjalan lancar. 

Kesimpulannya, keamanan layanan dompet digital akan semakin lebih mumpuni ketika perusahaannya rajin meningkatkan dan memperbaharui 'jurus' misalnya enkripsi mutakhir. Kalaupun tidak bisa mencegah kebobolan dan pencurian, paling minimal adalah penyimpanan data yang dapat membedakan antara transaksi yg dilakukan oleh pemilik asli dan transaksi yg dibobol pencuri. Setelah itu, maka jumlah saldo dapat dikembalikan ke semula.