Saturday, August 24, 2019

Katanya Akan Ada Universitas Negeri Di Tapanuli

Saya sempat bertanya : " Fakultas/Program Studi/Jurusan apa yang seharusnya akan ada Universitas Negeri Tapanuli Raya ?"

Lalu ada teman saya yang menjawab : "Seni, Sastra, dan Humaniora Batak" 

Mari kita bahas! 

Investasi dalam bentuk membangun infrastruktur, fasilitas serta sarana dan pra-sarana pendidikan bukanlah suatu langkah yang akan 'berbuah' dalam waktu singkat. Sehingga di samping biaya yang mahal, jarang sekali para orang kaya atau pemimpin pemerintahan yang mau ngotot mengupayakannya. 

Ketika orang kaya membangun fasilitas kesehatan umum dan pemerintah membangun infrastruktur jalan, maka mereka akan dengan dengan gampang menjawab segala hal nyinyir yang meragukan mereka. Misalnya ketika seorang konglomerat ditanya sudah berbuat apa kepada masyarakat, atau ketika kepala daerah ditanya sudah menggunakan pajak dari masyarakat untuk melakukan apa saja dalam 5 tahun terakhir, mereka dapat menjawab bahwa klinik dan Rumah Sakit mereka sudah menolong banyak nyawa, atau jalan tol sepanjang 100 kilometer sudah dibangun menggunkan 5.000 pekerja. Lagipula dampaknya dapat dirasakan langsung oleh konglomertat investor dan masyarakat pemberi pajak.

Selain dana dikucurkan untuk membangun gedung kampus, membayar dosen, dan segala riset penelitian, juga mungkin dibutuhkan waktu minimal, perkiraan yaitu: 
  • Pembangunan fisik kampus : tahun ke 0 - tahun ke 2 
  • Pencarian tenaga pengajar : tahun ke 0 - tahun ke 3
  • Pendidikan sarjana angkatan pertama :  tahun ke 1 - tahun ke 5
  • Semua sarja sudah bekerja : tahun ke 6 
  • Pendidikan master angkatan pertama : tahun ke 10 - tahun ke 12 
  • Pendidikan doktor angkatan pertama : tahun ke 15 - tahun ke 20
  • Asumsi alumni menjadi sebagai profesor pertama: tahun ke 20 
  • Pendidikan sarjana angkatan ke dua puluh :  tahun ke 20 - tahun ke 24
Entah harus menunggu hingga 25 tahun atau menunggu 6 tahun, rentang waktu tersebut lebih lama daripada 1 periode pemerintahan seorang kepala daerah  yaitu 5 tahun sebelum harus dipilih kembali. Bahkan jika terpilih kembali, maka belum tentu kampus tersebut sudah memiliki program studi master (S-2). Padahal sudah hampir pasti akan ditanyai, kapan kampus tersebut ada program studi S-2. Terlebih lagi bagi kampus di daerah rural, jika alumni angkatan pertama, kedua dan ketiga masih lebih doyan pergi ke kota karena ilmunya dibayar lebih tinggi, maka belum tentu pada tahun ke-10, mereka sudah kembali ke kampung atau sudah mebangun kampung secara masif dengan mengirim sejumlah jutaan Rupiah uang ke kampung. Sebelum asumsi jauh-jauh, perlu diperhatikan bahwa tahun ke-0 yang dimaksud ialah awal pembangunan kampus, bukan awal masa jabatan di pemerintahan. Jika awal pembangunan adalah pada tahun ke-2 si kepala daerah terpilih, maka silahkan tambahkan 2 tahun, sehingga menjadi: 

  • Pembangunan fisik kampus : tahun ke 2 - tahun ke 4 
  • Pencarian tenaga pengajar : tahun ke 2 - tahun ke 5
  • Pendidikan sarjana angkatan pertama :  tahun ke 3 - tahun ke 7
  • Semua sarja sudah bekerja : tahun ke 8
  • Pendidikan master angkatan pertama : tahun ke 12 - tahun ke 14
  • Pendidikan doktor angkatan pertama : tahun ke 17 - tahun ke 22
  • Asumsi alumni menjadi sebagai profesor pertama: tahun ke 22
  • Pendidikan sarjana angkatan ke dua puluh :  tahun ke 22 - tahun ke 26
Jika seorang kepala daerah mulai menjabat di tahun 2020 dan memulai membangun perguruan tinggi di tahun 2022, maka di periode keduanya di tahun 2028 barulah ada kemungkinan semua alumninya sudah diterima bekerja. Itupun kalau terpilih. Bahkan dia mungkin harus menanti hingga ke tahun 2034 untuk melihat wisuda pertama program studi S-2 dari kampus itu, jauh setelah akhir periode pertamanya. 

Hal yang ingin diperlihatkan di sini adalah, butuh komitmen yang sangat besar jika seorang kepala daerah ingin secara total memprioritaskan dan mengupayakan pembangunan perguruan tinggi baru yang dimulai dari titik nol. Terlebih lagi di daerah rural yang mungkin tingkat perekonomian dan produktifitasnya masih perlu ditingkatkan, akan dipertanyakan mengapa lebih memilih membangun kampus daripada subsidi pupuk dan membangun irigasi. Hasil pertanian bisa langsung dimakan, jika tidak dijual ke kota atau diekspor, sedangkan alumni yang baru muncul di tahun ke-7, belum tentu kembali membangun kampung.

Cukup sekian ilustrasi umum dan asumsi yang sok tau

Untuk rencana Tapanuli ingin memiliki perguruan tinggi, mungkin saja dilakukan beberapa terobosan agar lebih cepat, yaitu: 
  • Sebagian pembangunan menggunakan sponsor atau hibah dari berbagai perusahaan swasta yang berkaitan. Misalnya terkait pariwisata, dimintakan dari pelaku industri pariwisata, perhotelan, taman rekreasi. Jika terkait teknologi, dimintakan dari perusahaan teknologi, e-commerce, startup unicorn
  • Sebagian pembangunan menggunakan sumbangan dari orang Batak yang sudah kaya di kampung halaman atau di perantauan
  • Menggunakan fasilitas yang sudah ada, misalnya gedung milik pemerintahan yang tidak terpakai atau beberapa fasilitas dipinjam dari lembaga pemrintahan non-pendidikan atau pihak swasta
  • Program studi D-1 atau D-3 dapat dipilih karena waktu pendidikan lebih singkat daripa S-1 atau D-4. 
 Hal-hal tersebut adalah opsi agar awal masuknya alumni angkatan pertama ke duni kerja dapat terjadi dalam tempo singkat. Namun ada alasan mengapa terdapat poin 'asumsi alumni menjadi sebagai profesor pertama'. Profesor adalah 'puncak' bagi siapapun yang berkecimpung di dunia pendidikan perguruan tinggi. Dalam tempo beberapa puluh tahun, para pemimpin utama bagi setiap kampus seharusnya ialah rektor, dekan, dan kepala program studi yang bergelar profesor yang dulunya adalah alumni diploma atau sarjana dari kampus tersebut! 

Kembali ke jawaban teman saya yaitu kesenian khas Batak, sastra Batak, dan humaniora Batak seharusnya menjadi ilmu yang dipelajari, diperdalam, diteliti, dikembangkan oleh sebuah perguruan tinggi di Tapanuli. Hal ini juga seharusnya dilakukan di bawah kepemimpinan
rektor, dekan, dan kepala program studi yang bergelar profesor yang dulunya adalah alumni diploma atau sarjana dari kampus tersebut. Karena seharusnya mereka yang mengemban agenda tersebut.

Kesimpulannya, jika perguruan tinggi dibangun di Tapanuli untuk mendidik secara massal anak-anak muda agar menjadi pelaku pariwisata dan pekerja di sektor pariwisata, maka harusnya dilakukan segera agar tidak kehilangan momentum di saat pengembangan pariwisata di Danau Toba menjadi sorotan banyak pihak dan kepentingan. Namun untuk jangka panjang, harus dipikirkan dari awal tentang segelintir anak muda yang sudah ditarget dan dibimbing untuk kelak menjadi profesor yang akan memperdalam, meneliti, dan mengembangkan ilmu kesenian khas Batak, sastra Batak, dan humaniora Batak. 

No comments:

Post a Comment