Tuesday, August 27, 2019

Pendapat Saya Tentang Pemindahan Ibu Kota Republik Indonesia

Pada tulisan ini, saya akan memakai istilah 'DKI baru' atau Daerah Khusus Ibukota yang baru. Mengingat DKI Jakarta sendiri berwujud Provinsi yang terdiri dari beberapa kota. Walaupun kita sering menganggap DKI Jakarta sebagai kota, namun sebenarnya DKI Jakarta berada pada tingkat provinsi. Wajar saja dianggap kota atau urban, karena jika ditarik lurus sekitar 5 hingga 10 kilometer dari Monas, hampir ke segala arah sudah diisi oleh bangunan.

Isu yang paling pertama hinggap di kepala saya ketika mendengar rencana pemindahan ibu kota adalah, apakah akan ada keberagaman budaya di DKI baru? Kita tentu paham kalau DKI Jakarta sudah seperti mini Indonesia yang sangat beragam. Menurut saya, tidak perlu keberagaman yang dibuat-buat, aparatur sipil negara saja yang ada di pemerintahan pusat saja mungkin sudah berasal dari berbagai penjuru Indonesia, dan mereka serta ASN baru penerus mereka akan dipindahkan ke DKI baru. Dalam hal ini kalimat 'bersedia ditempatkan dimana pun di Indonesia' diuji secara massal.

Lalu, untuk apa sebuah negara merancang ibukotanya sendiri? Kita tahu bahwa pada negara-negara di dunia ini, lokasi ibu kota ada yang diwariskan dari kerajaan/kolonial/negara sebelumnya, dan ada juga yang dipilih serta dirancang sendiri oleh pemerintah dan warga negaranya. Pada masa kolonial Belanda, yang kini disebut Jakarta dulunya ialah Batavia. Batavia dipilih oleh Belanda, mungkin dalam hal ini VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), jauh sebelum Belanda menguasai dan menduduki daerah-daerah di Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan. Fokus mereka masih Selat Malaka. VOC juga ada di daerah Johor, pantai sisi barat Pulau Kalimantan, dan daratan Malaka pada masa itu. Namun posisi kunci Batavia sebagai pusat VOC tetap dipertahankan agar tidak terlalu dekat dengan Inggris di semenanjung Malaya. Apalagi jumlah populasi di Pulau Jawa sudah lebih dari cukup untuk mengusahakan peningkatan produktivitas lahan, ladang, dan sawah, baik dengan cara membuka lahan baru ataupun dengan ilmu-ilmu botani-agrikultur dari orang Eropa. Maka Belanda pun 'betah' mempertahankan Batavia menjadi pusatnya di Hindia Belanda.

Selain Batavia, Belanda juga besar di kota Surabaya yang pada masa itu sudah banyak penduduk dan padat. Selanjutnya, Surabaya menjadi portal antara Pulau Jawa dan daerah timur Hindia Belanda. Terdengar aneh memang, mengingat hasil bumi dari timur Hinda Belanda seharusnya langsung dikirim ke Eropa. Namun, melalui Surabaya, Pulau Jawa dan daerah timur Hindia Belanda sudah berinteraksi, dan mungkin saling berdagang, di bawah kolonialisme Belanda.

Saya bahas juga mengenai Surabaya agar kita mendapat gambaran bahwa DKI baru mungkin juga akan ditugasi hal-hal yang diemban Surabaya dalam kaitannya dengan Indonesia bagian Timur. Hal ini sejalan alasan dengan dipilihnya Kaltim yaitu karena secara geografi berada di tengah-tengah Indonesia dan lebih dekat dengan Indonesia bagian Timur daripada Jakarta. Terlebih lagi, Kalimantan Timur itu persis 'berhadap-hadapan' dengan Pulau Sulawesi. Namun, 'jembatan jalan tol' dari Pulau Sumatera dan Pulau Papua harus dibangun agar segala urusan rapat ke pemerintahan pusat di DKI baru dapat berjalan dan diselesaikan dengan lancar. Hal ini demi tujuan menghilangkan kesenjangan produktivitas ekonomis antara Pulau Jawa dan Luar Jawa, atau yang sering disebut 'Indonesia-sentris'.

Menurut saya, pembangunan ambisius Presiden saat ini sudah 'tinggal finishing' 30-40 persen lagi dari rencana awal tahun 2014. Presiden juga memasang gestur akan 'menginjak rem' percepatan infrastruktur transportasi. Sebagai gantinya, pembangunan infrastruktur akan difokuskan untuk membangun DKI baru. Berbagai mega proyek infrastruktur akan ada di lahan DKI baru. Investasi, alat konstruksi, dan para pekerja konstruksi mungkin akan diboyong ke Kalimantan Timur. Inilah 'peluru terakhir' sebagai warisan dari era pembangunan infrastruktur Presiden saat ini. Kita semua tentu berharap semoga proyek ini tidak dililit masalah dan DKI baru rampung dalam tempo yang tidak terlalu lama.

Mari lanjut ke persoalan daya tampung atau daya daya dukung lingkungan kepada mahluk hidup. Kita bicara soal beban 'biaya' yang ditanggung oleh alam. Bukan hanya manusia yang mengeluarkan biaya berupa uang membeli makanan, minuman dan rumah untuk melanjutkan hidupnya, alam juga harus mengeluarkan 'biaya' dalam bentuk air dan udara segar kepada manusia. Tingkat kepadatan penduduk bukan hanya tentang jumlah penduduk per satuan luas tanah, namun juga tentang jumlah penduduk per pasokan air bersih dan udara segar.

Beberapa pihak mungkin menganggap bahwa pemindahan ibu kota adalah upaya pemerintah pusat untuk kabur dan lepas tangan dari permasalahan Jakarta. Terlintas di pikiran saya, mungkin ada benarnya. Namun menurut saya bukan hal yang picik atau jahat. Karena ini adalah proyek jangka panjang, mungkin 20 tahun, jadi yang merasakan ruang kantor di DKI baru nanti belum tentu pejabat yang sekarang. Wajar saja bila negara sebesar Indonesia ingin memiliki ibu kota pemerintahan yang harus megah, serba besar, dan gedung antar gedung saling jauh-jauhan. Hal ini berbeda dengan pusat bisnis yang boleh saja saling berhimpitan, sempit, dan saling berdekatan. Daripada terjadi penggusuran demi penggusuran puluhan ribu warga terus-menerus, ada baiknya sebuah DKI baru dirancang dan dibangun (hampir) dari nol.

Membahas pembangunan infrastruktur fisik tentunya tidak lepas dari investasi besar-besaran Tiongkok di berbagai negara di dunia. Investai aspal dan semen ini memang sedang menjadi tren di ekonomi global. Aneh jika ada negara berkembang yang tidak bergerak ke arah sana. Namun untuk urusan DKI baru,  ego, martabat, derajat, dan harga diri Indonesia dipertaruhkan. Menurut saya, masyarakat luas, mulai dari fans Presiden Joko Widodo hingga orang yang pro investasi Tiongkok sekalipun akan mempertanyakan 'masak iya ibu kota Indonesia dibangun oleh Cina?', entah itu lewat perusahaan Tiongkok, uang, atau pekerja Tiongkok. Kita gak akan rela lah pokoknya.

Karena tidak sempurna, mega proyek ini cukuplah disebut ideal. Lokasi DKI baru ada di sisi timur Kalimantan yang bersebrangan dan berhadapan dengan Pulau Sulawesi yang merupakan titik tengah geografis Indonesia sesungguhnya. Dikatakan resiko bencana minimal juga bukan berarti tidak ada bencana.

Ke depannya, apakah DKI baru menjadi 'gerhana' bagi Balikpapan dan Samarinda? Akankah DKI baru mengkerdilkan dua kota tersebut? Coba anda bayangkan sebuah kota berisi jutaan orang ASN yang punya penghasilan, dan didatangi oleh ribuan orang ASN dari daerah setiap harinya. Sudah pastilah kota itu menarik bagi perusahaan restoran, hotel, bahkan mall. Daripada berinvestasi di Balikpapan dan Samarinda, tentu lebih baik berinvestasi di area DKI baru. Namun masih belum jelas batasan tentang hal ini, tentang seberapa bebas pihak swasta boleh membangun dan memiliki lahan bisnis di area DKI baru.

Hasil kajian pencarian lokasi DKI baru dalam beberapa tahun terakhir juga menghasilkan beberapa daerah yang mungkin bisa diibaratkan sebagai Juara-2, Juara-3, dan Peringkat-4. Saya yakin bahwa ada kemungkinan pemerintah  telah membidik lokasi-lokasi tersebut untuk dijadikan ladang investasi industri padat tekonologi tinggi maupun padat karya. Logikanya gak boleh sia-sia dong, udah buat penelitian, malahan yang dipakai cuman Juara-1 nya saja. Beberapa daerah yang telah dikaji tersebut seharusnya telah diketahui karakteristik, kelebihan, dan kekurangannya, sehingga bisa dicarikan tempat mana cocok untuk urusan apa. Daerah di pantai utara bagian perbatasan Provinsi Jabar dan Jateng, mungkin bisa semakin digalakkan ke arah industrialisasi. Begitu pula daerah Purwakarta sekitarnya, atau bagian selatan Pulau Sulawesi. Mereka seharusnya dikembangkan ke arah yang sesuai karakter masing-masing.
 Jakarta dalam 20 tahun ke depan bisa jadi dikembangkan menjadi kota pusat bisnis, keuangan, perdagangan, dan jasa. Saya memprediksi bahwa Jabodetabekpunjur akan menjadi sebuah Kawasan Ekonomi Ekslusif (KEK) yang memiliki regulasi berbeda dari daerah lain di Indonesia. Misalnya jika pajak  di tempat lain adalah 20%, maka pajak di Jakarta adalah 5% saja. Sementara itu di DKI baru, pajak dinaikkan jadi 30%, sehingga tidak menarik bagi swasta. Hal ini tidaklah aneh, justru agar bisnis swasta tetap berpusat di Pulau Jawa. Di sisi lain, karena tidak dipilih sebagai DKI baru, bisnis swasta akan menjalar ke arah Pulau Sumatera. Seharusnya, provinsi-provinsi di Pulau Sumatera sudah mulai memperbanyak area KEK dan mulai bagi-bagi insentif berupa 'liburan pajak' bagi investor yang berani memulai bisnis di lahan yang baru tersebut.

Saya berasumsi bahwa pemindahan ibu kota bukanlah untuk kebaikan Jakarta, namun demi kebaikan Indonesia. Urban regeneration untuk Jakarta adalah perihal urusan yang lain, tidak satu 'kapal' dengan pembangunan DKI baru. Jakarta nantinya harus mengambil kesempatan untuk memperbaiki serta meningkatkan pasokan air dan memperluas ruang terbuka hijau, mumpung jutaan aparatur sipil negara sedang berpindah ke Kalimantan. Karena selain opsi djual atau diratakan, bisa saja rumah sewa, kos, ataupun tanah yang dimiliki oleh ASN di Jakarta akan ditinggalkan namun tidak dijual melainkan disewakan kepada penduduk baru Jakarta yang akan datang di kemudian hari. Dari sini dapat terlihat bahwa memnindahkan ibu kota pemerintahan bisa saja lebih mudah dan murah daripada memindahkan pusat bisnis.

Ibu kota pemerintahan dan pusat bisnis nasional butuh stabilitas. Stabilitas bukan hanya tentang keamanan dari konflik bersenjata. Hal ini menjadi pembeda antara kota pusat pemerintahan dan kota pusat bisnis. Pusat pemerintahan rawan dengan demontrasi. Bukan hanya yang berjumlah pelaku unjuk  rasa ratusan ribu orang, namun yang jumlahnya 2 orang pun kalau memakai aksi drama panggung yang menutup jalan umum, juga dapat membuat penduduk kota pusing. Boleh dan sah-sah saja bila pusat pemerintahan didemo setiap hari, namun jangan pusat bisnisnya.

Stabilitas suatu kota juga dipengaruhi oleh faktor terkait rawan bencana. Kota yang sering kena sembur abu vulkanik seharusnya tidak lebih dipilih daripada kota yang tidak pernah kena abu vulkanik. Begitu pula dengan kebarakan hutan, longsor, gempa, dll.

Saat tulisan ini saya buat, ada 2 hal yang membuat saya  penasaran. Pertama, apakah letak geografis DKI baru akan lebih jauh dari garis pantai dan lebih tinggi dari permukaan laut dibandingkan dengan DKI Jakarta? Misalnya Istana Negara yang baru akan berada 20 kilometer dari laut dan 50 meter di atas permukaan laut. Dibandingkan Istana Merdeka, di Jakarta, yang berada sekitar 6 kilometer dari laut dan sekitar 7 meter di atas permukaan laut. Kondisi geografis Kecamatan Samboja dan Kecamatan Sepaku memadai untuk hal itu. Hal ini terutama menjadi perlu diperhatikan atas dasar pertahanan dan keamanan dari konflik bersenjata dan infiltrasi/ penyusupan dari laut.

Hal kedua yang membuat saya penasaran adalah bagimana respon penduduk di Sabah dan Sarawak? Entah apa yang nanti mereka rasakan ketika mereka berada satu pulau dengan pusat pemerintahan Republik Indonesia yang berisi orang-orang paling berkuasa, paling 'kuat', dan paling berpengaruh dalam tanggung jawab pengambilan keputusan yang melibatkan dan  menentukan arah kehidupan 290 juta manusia bangsa Indonesia yang tinggal di 17.000 pulau dari Sabang sampai Merauke. Pulau Kalimantan yang sudah ditempati oleh 3 negara, akan segera ditempati juga oleh 2 ibu kota pemerintahan negara. Hal yang tidak pernah dirasakan oleh Jakarta dan Pulau Jawa dalam 50 tahun terakhir. 

1 comment:

  1. KABAR BAIK!!!

    Nama saya Lady Mia, saya ingin menggunakan media ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman agar sangat berhati-hati, karena ada penipuan di mana-mana, mereka akan mengirim dokumen perjanjian palsu kepada Anda dan mereka akan mengatakan tidak ada pembayaran di muka, tetapi mereka adalah penipu , karena mereka kemudian akan meminta pembayaran biaya lisensi dan biaya transfer, jadi berhati-hatilah terhadap Perusahaan Pinjaman yang curang itu.

    Perusahaan pinjaman yang nyata dan sah, tidak akan menuntut pembayaran konstan dan mereka tidak akan menunda pemrosesan transfer pinjaman, jadi harap bijak.

    Beberapa bulan yang lalu saya tegang secara finansial dan putus asa, saya telah ditipu oleh beberapa pemberi pinjaman online, saya hampir kehilangan harapan sampai Tuhan menggunakan teman saya yang merujuk saya ke pemberi pinjaman yang sangat andal bernama Ms. Cynthia, yang meminjamkan saya pinjaman tanpa jaminan sebesar Rp800,000,000 (800 juta) dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa konstan pembayaran atau tekanan dan tingkat bunga hanya 2%.

    Saya sangat terkejut ketika saya memeriksa saldo rekening bank saya dan menemukan bahwa jumlah yang saya terapkan dikirim langsung ke rekening bank saya tanpa penundaan.

    Karena saya berjanji bahwa saya akan membagikan kabar baik jika dia membantu saya dengan pinjaman, sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman dengan mudah tanpa stres atau penipuan
    Jadi, jika Anda memerlukan pinjaman apa pun, silakan hubungi dia melalui email nyata: cynthiajohnsonloancompany@gmail.com dan atas karunia Allah, ia tidak akan pernah mengecewakan Anda dalam mendapatkan pinjaman jika Anda mematuhi perintahnya.
    Anda juga dapat menghubungi saya di email saya: ladymia383@gmail.com dan Sety yang memperkenalkan dan memberi tahu saya tentang Ibu Cynthia, ini emailnya: arissetymin@gmail.com

    Yang akan saya lakukan adalah mencoba untuk memenuhi pembayaran cicilan pinjaman saya yang akan saya kirim langsung ke rekening perusahaan setiap bulan.

    Sepatah kata cukup untuk orang bijak.

    ReplyDelete