Saturday, August 24, 2019

Gaya Kepemimpinan Orang India Di Bidang Teknologi: Pelayanan Dari Atasan Ke Bawahan


Beberapa hari yang lalu berkunjung ke kampus. Ngobrol dengan teman-teman yang sudah alumni. Obrolan pun sampai kepada isu internet bahwa 50% pegawai NASA adalah orang India. Memang setelah dicari tahu, info tersebut keliru. Namun hoax atau guyon itu tidak timbul tanpa alasan. Karena di USA, kalau dicek daftar pejabat di perusahaan-perusahan top di bidang teknologi komputer, maka bukan hanya 1 atau dua orang saja yang dari namanya langsung ketahuan sebagai orang India. Misalnya, beberapa unit kerja di perusahaan Intel, AMD, dan NVIDIA dipimpin oleh yang punya nama khas India. Jadi bukan hanya jabatan sekelas CEO yang sering masuk berita itu saja, namun juga berakar ke unit-unit internal yang lebih kecil seperti divisi atau departemen. Daripada membahas skill IT mereka, saya sendiri lebih yakin bahwa kemampuan dan gaya memimpin mereka lah yang menjadikan beberapa orang-orang India sampai pada tahap direksi perusahaan.

Menurut saya, yang unik dari gaya kepemimpinan orang India adalah semacam konsep 'yang mengajar adalah yang memimpin' dan 'kalau mau jadi pemimpin ya harus mau jadi pengajar'. 'Istilah mengajar' dalam hal ini mungkin dapat disamakan dengan 'membimbing'. Hal ini menjauhkan dari dampak buruk sifat nge-boss yang dapat muncul akibat egoisme berlebihan. Karena meskipun bergerak cepat dengan langkah besar sekalipun, kalau tidak mau mengajari dan membimbing anggota yang lain, maka atasannya dia tidak akan menunjuknya sebagai pemimpin. Bahkan meskipun dia ditunjuk sebagai ketua/kepala/manajer, anggotanya tidak akan menganggapnya sebagai pemimpin jika dia tidak mau mengajari, dan hanya menyuruh-nyuruh.

Gaya kepemimpinan tersebut sangantlah rumit dan menyita waktu. Tentu saja sebagian besar waktu terpakai oleh micro-management. Padahal masih ada hal-hal besar yang bersifat eksternal yang harus dibenahi. Tentunya, bimbingan yang diberikan tadi seharusnya untuk membuat si anggota langsung paham dan mahir. Artinya, kemauan membimbing saja tidak cukup, jika tidak mampu dan tidak sempat membimbing, maka tetap saja tidak akan dianggap sebagai pemimpin.

Oleh karena itu, sebagai kompensasi agar ditoleransi, orang yang ingin menjadi pemimpin seharusnya menghargai, dan membuat suasana kekeluargaan secara 360 derajat (kepada bawahan, kepada yang sederajat, dan kepada atasan). Hal-hal seperti menanyakan kabar keluarga dari atasan, menjenguk rekan yang sakit, dan menghadiri pesta pernikahan dari anak bawahannya juga menjadi keharusan bagi yang ingin mempunyai kuasa kepemimpinan.

Dengan segala upaya di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pelayanan yang dilakukan adalah dari CEO ke karyawannya, atau dari kepala divisi ke anggotanya, atau dari kepala departemen ke bawahannya. Pemimpin ialah justru yang melayani lewat ajaran dan bimbingan kepada yang dipimpin. Gaya kepeimpinan ini akan jadi sulit ketika menjumpai orang yang sering 'kelewatan' batas moral, misalnya atasan malah disuruh-suruh. Si manajer juga tidak boleh alergi ketika harus mengajari orang yang 5 level struktur di bawahnya.

Dalam mempertahankan rasa kekeluargaan itu, interaksi sosial yang tinggi berujung pada keterbukaan antar pribadi. Seseorang akan merasa malu jika keterlibatannya tidak signifikan pada kelompok. Pada akhirnya, hal ini akan ikut mendorong kinerja tim.

Siapa yang layak bertahan menjadi pemimpin ialah yang mampu menjadi pengarah utama untuk strategi bisnis, harus mampu menjaga budaya harmonis dalam organisasi, harus mampu memberi panduan sebagai guru panutan bagi karyawan, dan harus mampu menjaga kepentingan pemilik dan investor. Lebih spesifik lagi, yang lebih cenderung untuk bertahan ialah justru yang dapat menunjukkan bahwa sebagai pemimpin lebih mengutamakan kesejahteraan dan keadaan harmonis internal organisasi daripada menjaga kepentingan pemilik dan perasaan para investor. Cukup membingungkan.

Intinya, para pemimpin berdarah India yang berkiprah di perusahaan-perusahaan USA sekarang telah lama sadar bahwa peningkatan kesadaran atas budaya kerja yang baik dan peningkatan kemampuan modal manusia adalah hal utama yang harus diperjuangkan bersama-sama. Jika internal sudah bagus, maka lebih banyak investor baru akan datang dengan dana lebih besar. Jika memang investor merasa tidak senang karena sang manajer lebih mementingkan kondisi bawahannya, maka silahkan si investor keluar. Tetap dingat bahwa jika memang peforma internal sudah bagus, maka lebih banyak investor baru akan datang dengan dana lebih besar.

Tetap saja, masih merupakan hal yang membingungkan.

No comments:

Post a Comment